jelajahmedia.com

Warta Digital, Jelajah Tanpa Batas

Respons Pramono Soal Tunjangan Rumah Anggota DPRD DKI Rp 70 Juta: Tanggung Jawab Daerah, Bukan Istana

Respons Pramono Soal Tunjangan Rumah Anggota DPRD DKI Rp 70 Juta Per Bulan

jelajahmedia.com – Pasca-polemik soal tunjangan rumah anggota DPR senilai Rp 50 juta, perhatian kini beralih ke DPRD DKI Jakarta yang menerima tunjangan jauh lebih besar—sekitar Rp 70,4 juta per bulan. Wamen Kuham Pramono Anung memberi tanggapan penting bahwa tunjangan tersebut adalah kewenangan daerah, dan pihak Istana tidak mencampuri. Apalagi angka itu dipatok lewat regulasi, bukan kondisi sewenang-wenang.

Tanggapan Pramono—Kewenangan Daerah, Bukan Pusat

1. Bukan Urusan Istana
Saat ditanya, Pramono menekankan bahwa penetapan tunjangan rumah bukan dari Istana—melainkan sepenuhnya kewenangan Kementerian Keuangan dalam kerangka kebijakan daerah. Istana, dalam hal ini, hanya mengikuti mekanisme formal yang berlaku.

2. Mekanisme Transisi dan Regulasi yang Jelas
Tunjangan ini menggantikan fasilitas rumah dinas di kawasan Kalibata yang sudah tidak digunakan lagi. Penetapannya juga tidak spontan, melainkan melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 serta merujuk PP 18 Tahun 2017 dan Peraturan Gubernur DKI lainnya.

3. Fungsi Transparansi dan Kewajaran
Bagi Pramono, masalah ini lebih kepada memastikan semuanya berjalan dalam koridor hukum dan transparan. Tunjangan tidak otomatis berarti tidak sah—asalkan dilakukan secara terbuka dan berdasarkan regulasi.

Kritik Publik dan Harapan Evaluasi

1. Rasanya “Terlalu Fantastis”
Publik, termasuk Direktur IPR, Iwan Setiawan, menilai besaran tunjangan tersebut sangat besar dan melukai rasa keadilan—apalagi jika rakyat masih bergumul soal hunian. Meski sumber APBD cukup, nilai tersebut dianggap tidak relevan secara etis.

2. Demo dan Desakan Evaluasi
Massa demo yang digelar di DPRD DKI menuntut evaluasi, bukan penghapusan. Mereka keberatan jika tunjangan tidak disesuaikan dengan situasi ekonomi saat ini, dan menuntut audit BUMD agar anggaran lebih bisa rasional.

3. Perbandingan dengan DPR dan Daerah Lain
Menariknya, tunjangan DPRD DKI justru lebih tinggi daripada DPR RI. Meski ada justifikasi risiko hunian di Jakarta, kritik tetap meluas karena terkesan ketimpangan fasilitas antar lembaga politik.

Tantangan Praktis dan Reformasi Sistemik

1. Standarisasi Tunjangan yang Lebih Rasional
Idealnya, tunjangan untuk DPRD seharusnya ditentukan melalui kalkulasi transparan—bandingkan harga properti daerah, beban kerja, dan kebutuhan primer—bukan sekadar asumsi normalisasi tunjangan rumah.

2. Risiko Politik dan Sosial Jika Abai Rasa Keadilan
Bila pemerintah lalai, publik bisa semakin skeptis terhadap wakil rakyat. Hal ini bisa memancing gelombang tuntutan lebih luas dan menurunkan trust terhadap sistem demokrasi.

3. Dorongan Reformasi Anggaran Daerah
Kasus ini seharusnya mendorong evaluasi refomasi birokrasi penyusunan kebijakan daerah—dengan melibatkan masyarakat, menaikkan partisipasi publik, dan memperkuat pengawasan anggaran.

Penutup — Marilah Evaluasi, Bukan Sekadar Kritik

Pramono Anung dengan tegas memberi sinyal: kebijakan ini bukan monopoli pusat, melainkan mandat daerah. Meski aturan memang menetapkan besaran Rp 70 juta per bulan, evaluasi perlu dilakukan demi menjaga keadilan sosial. Kritik konstruktif dan reformasi transparan adalah kunci agar tunjangan bukan hanya masuk akal, tapi juga rasional di mata rakyat.